Connect with us

Ekonomi Bisnis

Organisasi Masyarakat Sipil Meminta Pemerintah Indonesia untuk Tidak Terburu-buru dalam Menyetujui Perjanjian Pandemi

Published

on

Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia mengirimkan surat terbuka kepada Pemerintah Indonesia yang menuntut pemerintah untuk tidak buru-buru dalam menyetujui Perjanjian Pandemi yang saat ini dibahas di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Tanpa memungkiri pentingnya instrumen internasional bagi kesiapsiagaan, pencegahan, dan respon pandemi, OMS mengingatkan agar pemerintah tidak terburu-buru mengesahkan Perjanjian jika usulan yang ada masih belum mengakomodir kepentingan dari negara-negara berkembang. Terutama sehubungan dengan pendanaan yang memadai untuk kesiapsiagaan pandemi, akses yang berkeadilan terhadap komoditas kesehatan, serta penguatan tenaga kesehatan.

Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) Indonesia mengirimkan surat terbuka kepada Pemerintah Indonesia yang menuntut pemerintah untuk tidak buru-buru dalam menyetujui Perjanjian Pandemi yang saat ini dibahas di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).[1] Perjanjian Pandemi adalah instrumen yang ditujukan bagi kesiapsiagaan, pencegahan, dan respons internasional terhadap pandemi di masa mendatang.[2] Perjanjian ini telah dirundingkan sejak bulan Desember 2021 dan ditargetkan selesai pada putaran perundingan yang berlangsung sejak tanggal 29 April hingga 10 Mei oleh Intergovernmental Negotiating Body (INB9). Naskah final dari Perjanjian Pandemi ditargetkan dapat dipertimbangkan pada Pertemuan Majelis Kesehatan Dunia ke-77 di tanggal 27 Mei 2024.

Perjanjian Pandemi dilatarbelakangi oleh pandemi COVID-19 yang diperkirakan telah merenggut 7 juta jiwa dan menyebabkan kerugian senilai $2 triliun bagi perekonomian dunia. Terdapat persoalan ketimpangan akses yang sangat nyata pada akses kesehatan selama pandemi berlangsung. Menjelang tenggat waktu dari naskah final Perjanjian Pandemi, maka disusun surat terbuka dengan dukungan lebih dari 10 OMS Indonesia yang bergerak di isu kesehatan.

Indonesia for Global Justice (IGJ), sebagai salah satu penggagas, mengungkapkan alasan mereka untuk mengirimkan surat adalah karena tidak adanya transparansi dan minimnya keterlibatan langsung dari negara-negara anggota dalam proses penyusunan naskah. Selama perundingan berlangsung, tidak pernah ada negosiasi berbasis teks yang dipimpin oleh negara anggota. Selain itu, kepentingan dari negara-negara berkembang juga belum terakomodir dengan baik pada draf terakhir naskah perjanjian.

IGJ berpendapat bahwa pada draf terakhir perjanjian terdapat banyak kewajiban yang harus dilakukan oleh Indonesia selaku negara berkembang yang tidak dibarengi dengan kewajiban dari negara-negara maju untuk memberikan dukungan. Salah satu poin yang menjadi perhatian IGJ adalah kewajiban surveilans, yang mana hal tersebut diamanatkan secara ekstensif dan melebihi apa yang relevan dan penting untuk mengatasi pandemi.

“Kewajiban surveilans ini bertujuan agar negara berkembang dapat berbagi material biologis, sekuens data, dan informasi lainnya ke WHO dan negara-negara maju. Namun kewajiban ini diusulkan tanpa adanya kewajiban yang sepadan bagi negara maju untuk memberikan bantuan keuangan dan teknologi, sekaligus tanpa syarat untuk memastikan akses yang adil bagi negara berkembang. Padahal banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, yang kekurangan infrastruktur surveilans seperti laboratorium dan epidemiolog,” sebagaimana yang disampaikan oleh Agung Prakoso, Koordinator Program Kesehatan, IGJ.

Salah satu komponen dari Perjanjian Pandemi adalah Sistem Akses dan Pembagian Manfaat terkait Pandemi (Pandemic Access and Benefit Sharing System/PABS), yang berisi kewajiban untuk berbagi informasi terkait sampel dan data patogen pada jaringan dan basis data yang dikelola oleh WHO. Sehubungan dengan hal tersebut, negara-negara berkembang menuntut agar terdapat pembagian manfaat (testing, vaksin, obat, dsb.) yang berkeadilan dari pembagian informasi, sekaligus menekankan bahwa pengguna/penerima data harus teridentifikasi, terdaftar, dan menyetujui syarat dan ketentuan yang mengikat secara hukum. Atau dengan kata lain, science for science, yang mana sistem PABS diharapkan dapat menghimpun lebih banyak informasi mengenai pandemi sekaligus memastikan akses masyarakat terhadap produk pengetahuan yang dapat menyelamatkan nyawa.

Adapun Indonesia AIDS Coalition (IAC) menyampaikan bahwa tuntutan utama dari OMS atas Perjanjian Pandemi ini adalah sehubungan dengan persoalan ketimpangan akses terhadap komoditas kesehatan pada masa pandemi. Pada masa pandemi COVID-19, ketimpangan akses ini menjadi persoalan yang belum teratasi bahkan hingga pandemi dianggap usai. Hal ini diakibatkan oleh monopoli Kekayaan Intelektual (KI) yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan farmasi besar dari negara-negara maju. Tuntutan untuk pengabaian sementara dari aturan mengenai perlindungan KI ini ditolak di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Karenanya, Perjanjian Pandemi dituntut untuk mengatasi permasalahan tersebut. Namun sayangnya klausul di dalam Perjanjian Pandemi masih belum mengakui adanya hambatan terkait KI dalam akses ke komoditas kesehatan. Bahasa yang digunakan juga diperlemah. Padahal, akses dan keadilan merupakan isu krusial pada masa pandemi COVID-19. Tidak hanya pada alat tes, pengobatan, dan vaksin. Namun juga teknologi dan know-how untuk memproduksi produk-produk tersebut. Tidak seharusnya negara-negara berkembang kembali tertinggal dalam perihal akses. Terlebih ketika mengingat potensi terjadinya pandemi di masa mendatang. WHO misalnya, telah meningkatkan kewaspadaan sehubungan dengan penyebaran pesat dari flu burung H5N1, dan potensi penularan virus tersebut antar manusia.

“Perjanjian Pandemi memang mendukung transfer teknologi. Namun sayangnya pendekatannya masih mengandalkan Fleksibilitas TRIPS yang telah terbukti gagal dalam mengatasi ketimpangan akses pada masa pandemi COVID-19. Perjanjian Pandemi mengabaikan hambatan-hambatan terkait KI dan tidak memberikan jaminan bahwa transfer teknologi akan dilakukan. Pun juga akses ke manfaat yang diperoleh dari berbagi informasi dan data patogen. Para negosiator harus memastikan bahwa naskah final Perjanjian Pandemi setia pada janji awal untuk mencegah dan memitigasi risiko terkait pandemi. Utamanya sehubungan dengan penyediaan alat tes, vaksin, obat, dan alat kesehatan secara cepat, efektif, dan berkeadilan. Kami berharap Indonesia yang merupakan pemain kunci dari Group for Equity dapat terus berpegang teguh pada prinsip ini,” ujar Ferry Norila, Community, Campaign, and Advocacy Coordinator, IAC.

Lebih lanjut, IGJ juga menyayangkan tidak adanya usulan pembentukan dana khusus untuk mendukung kebutuhan sumber daya keuangan yang berkelanjutan. Dana yang ada saat ini, seperti Dana Pandemi Bank Dunia, hanya bertanggung jawab kepada badan pengaturnya sendiri. Sementara prioritas yang ditetapkan oleh badan pengelola [calon] Perjanjian Pandemi dikesampingkan dan dilemahkan.

“Tanpa adanya mekanisme pendanaan yang memadai, kewajiban-kewajiban yang diatur akan menjadi semakin berat. Dana Pandemi yang disahkan di G20 Indonesia tahun 2022 lalu belum dapat dipastikan bisa mengatasi persoalan pendanaan di negara-negara berkembang. Selain itu, mekanisme ini seharusnya tidak membatasi usulan mekanisme pendanaan lainnya terkait pandemi,” tambah Lutfiyah Hanim, Peneliti Senior IGJ.

Dalam Siaran Pers ini, IGJ dan IAC tidak memungkiri pentingnya instrumen internasional bagi kesiapsiagaan, pencegahan, dan respon pandemi. Namun mengingatkan agar Pemerintah Indonesia tidak terburu-buru mengesahkan Perjanjian Pandemi jika usulan yang ada masih belum mengakomodir kepentingan dari negara-negara berkembang. Terutama sehubungan dengan pendanaan yang memadai untuk kesiapsiagaan pandemi, akses yang berkeadilan terhadap komoditas kesehatan, serta penguatan tenaga kesehatan. Prinsip keadilan harus selalu dikedepankan, sebab Perjanjian Pandemi tidak akan berhasil apabila perjanjian tersebut tidak dapat memastikan akses yang berkeadilan bagi semua terhadap komoditas kesehatan yang menyelamatkan nyawa.

“Kita memang tidak dapat memprediksi kapan pandemi berikutnya akan terjadi. Karenanya, instrumen kesiapsiagaan memang diperlukan. Namun kita menuntut instrumen ini dapat mencegah persoalan-persoalan yang sudah pernah terjadi pada masa pandemi COVID-19. Jangan sampai instrumen yang ada justru tidak dapat menyelesaikan persoalan dan malah justru menambah persoalan bagi negara-negara berkembang melalui kewajiban-kewajiban yang ada,” tutup Lutfiyah Hanim.

[1] Surat terbuka dapat dilihat di: https://igj.or.id/2024/04/29/surat-terbuka-organisasi-masyarakat-sipil-indonesia-terkait-perjanjian-pandemi-di-who/

[2] Informasi lebih lengkap mengenai Perjanjian Pandemi dapat dilihat di: https://igj.or.id/2024/02/10/informasi-dasar-pandemic-treaty-why-should-we-care/

About Indonesia AIDS Coalition
Indonesia AIDS Coalition (IAC) adalah organisasi berbasis komunitas yang berkontribusi pada upaya untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat dalam program penanggulangan HIV-AIDS nasional melalui kolaborasi dengan para pemangku kepentingan. Berdiri sejak tahun 2011, IAC memiliki pengalaman pengelolaan dana hibah yang ekstensif dan menjalin kemitraan dengan sejumlah K/L dan lembaga internasional seperti Komisi 9 DPR, Kementerian Kesehatan, Kantor Staf Presiden, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Dalam Negeri, Komnas HAM, Komnas Perempuan, UNAIDS, UNFPA, UN Women, UNDP, kelompok pasien, serta jaringan nasional populasi kunci.

Press Release ini juga sudah tayang di VRITIMES

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ekonomi Bisnis

AI dalam Birokrasi: Membangun Pelayanan Publik yang Lebih Cerdas dan Efisien

Published

on

Jakarta, 20 Maret 2025 – Dalam upaya mempercepat transformasi digital di sektor publik, MAXY Academy menggelar Pelatihan & Buka Puasa Bersama bertajuk “AI dalam Birokrasi: Meningkatkan Produktivitas dan Pelayanan Publik”. Acara ini menjadi ruang diskusi bagi berbagai pihak untuk mengeksplorasi bagaimana kecerdasan buatan (AI) dapat membawa perubahan besar dalam tata kelola pemerintahan.

Bertempat di Indonesia Team Impact HUB, Lippo Thamrin Building, Jakarta Pusat, acara ini dihadiri oleh para pemimpin pemerintahan, akademisi, dan praktisi teknologi yang memiliki perhatian besar terhadap efisiensi birokrasi. AI kian dianggap sebagai solusi yang dapat mengatasi berbagai hambatan administratif, mengurangi birokrasi yang berbelit, serta meningkatkan responsivitas layanan publik.

Andy Febrico Bintoro: AI sebagai Kunci Transformasi Birokrasi

Sebagai pembicara utama, Andy Febrico Bintoro, pakar teknologi dan transformasi digital, menyoroti bagaimana AI dapat membuka babak baru dalam tata kelola pemerintahan. Dalam pemaparannya, ia menjelaskan bahwa integrasi AI bukan hanya tentang otomatisasi, tetapi juga perubahan mendasar dalam cara lembaga pemerintah bekerja.

“AI bukan sekadar teknologi masa depan, tetapi alat yang hari ini sudah bisa kita manfaatkan untuk menciptakan birokrasi yang lebih efisien dan transparan. Dengan AI, kita bisa memangkas proses yang berlarut-larut dan memberikan pelayanan yang lebih cepat serta akurat kepada masyarakat,” ujar Andy Febrico.

Sesi ini juga memberikan wawasan mendalam mengenai penerapan AI dalam berbagai aspek birokrasi, mulai dari pemrosesan data secara otomatis, sistem prediktif untuk pengambilan keputusan, hingga pemanfaatan chatbot dalam layanan publik. Berbagai contoh nyata dan studi kasus dipaparkan untuk memberikan gambaran bagaimana teknologi ini dapat diimplementasikan secara nyata.

Menyongsong Era Baru Birokrasi Digital

Transformasi digital di sektor publik bukan lagi sekadar wacana, melainkan kebutuhan yang harus segera diwujudkan. AI hadir sebagai alat strategis yang dapat membantu pemerintahan dalam menyederhanakan prosedur administrasi, meningkatkan efisiensi, serta membangun sistem yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Diskusi yang berlangsung dalam acara ini menegaskan bahwa kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan sektor swasta menjadi kunci utama dalam percepatan adopsi teknologi. Dengan komitmen bersama, AI diharapkan dapat menjadi solusi nyata bagi birokrasi yang lebih modern dan efektif.

MAXY Academy: Mendorong Digitalisasi di Berbagai Sektor

Melalui acara ini, MAXY Academy kembali menegaskan komitmennya dalam mendukung percepatan transformasi digital di Indonesia. Dengan pendekatan berbasis edukasi dan komunitas, MAXY Academy akan terus menghadirkan berbagai program pelatihan untuk membantu individu dan organisasi beradaptasi dengan perkembangan teknologi.

Press Release ini juga sudah tayang di VRITIMES

Continue Reading

Ekonomi Bisnis

Komitmen CEO PMI Jacek Olczak untuk Investasi Jangka Panjang di Indonesia

Published

on

Philip Morris International (PMI), induk perusahaan PT HM Sampoerna Tbk. (Sampoerna), menilai Indonesia memainkan peran penting dalam rantai pasokan global PMI dan merupakan salah satu tujuan utama PMI untuk investasi jangka panjang dan inovasi berkelanjutan.

JAKARTA – Philip Morris
International (PMI), induk perusahaan PT HM Sampoerna Tbk. (Sampoerna), menilai
Indonesia memainkan peran penting dalam
rantai pasokan global PMI dan merupakan salah satu tujuan utama PMI untuk
investasi jangka panjang dan inovasi berkelanjutan.

Jacek Olczak, Chief Executive Officer PMI, menjelaskan
bahwa ketika PMI mengakuisisi Sampoerna 20 tahun lalu, perusahaan sedang dalam
fase ekspansi geografis dan mencari pasar yang solid dengan prospektif bisnis
yang baik. Sampoerna dan Indonesia cocok dengan strategi bisnis tersebut. Setelah
20 tahun, pilihan yang dibuat PMI terbukti tepat.

Sejak mengakuisisi Sampoerna, PMI telah berinvestasi lebih
dari USD 6,4 miliar untuk mendukung operasional Sampoerna di Indonesia,
termasuk investasi terbaru sekitar USD 330 juta untuk mengembangkan produk
tembakau inovatif bebas asap di Indonesia. Investasi tersebut digunakan untuk pengembangan
fasilitas produksi produk tembakau inovatif bebas asap di Karawang, Jawa Barat.

Fasilitas produksi ini memasok pasar domestik dan ekspor
di seluruh wilayah Asia Pasifik, sehingga Sampoerna menjadi pusat ekspor ke
lebih dari 30 pasar, baik untuk rokok konvensional maupun produk tembakau yang
dipanaskan. “Investasi ini bukan hanya tentang manufaktur dan teknologi, tetapi
juga tentang penciptaan lapangan kerja baru di bidang yang belum pernah ada
sebelumnya,” ujar Jacek pada sesi Media Interview di Jakarta, Selasa 17
Maret 2025.

Fasilitas produksi tersebut juga diperkuat dengan
kehadiran laboratorium R&D kelas dunia. Laboratorium tersebut didukung oleh
sekitar 200 tenaga ahli dari dalam negeri dengan kualifikasi tinggi, yang bertanggung
jawab untuk menjaga implementasi sistem manajemen kualitas, memastikan seluruh
kegiatan proses manufaktur mengikuti standar kualitas tinggi, serta melakukan
evaluasi berkelanjutan perihal kualitas.

Secara global, Jacek menambahkan, PMI telah
menginvestasikan lebih dari USD 14 miliar untuk mengembangkan, membuktikan
secara ilmiah, dan mengkomersialisasikan produk bebas asap untuk perokok dewasa
yang memutuskan untuk terus menggunakan produk tembakau. “Saat ini,
hal itu masuk akal karena ini adalah produk alternatif yang lebih rendah
risiko. Anda dapat merasakan pengalaman yang sama dengan risiko yang lebih
rendah,” terangnya.

Jacek menyebutkan bahwa produk tembakau inovatif bebas
asap pertama kali dipasarkan 10 tahun lalu di Italia dan Jepang dan mendapat
respons positif dari konsumen dewasa. Khusus Indonesia, PMI memulai memperkenalkan
produk tembakau inovatif bebas asap sejak tahun 2019 karena perlu menyesuaikan
dengan preferensi konsumen dewasa di Tanah Air. “Misalnya, kami menawarkan
produk tembakau inovatif bebas asap yang dapat mengandung cengkih, yang
memiliki karakteristik khusus yang memerlukan inovasi tambahan,” jelasnya.

Presiden Direktur
Sampoern, Ivan Cahyadi, menambahkan bahwa kehadiran produk bebas asap sejalan
dengan Falsafah Tiga Tangan Sampoerna di mana salah satu pilarnya ialah
memberikan alternatif yang lebih baik bagi konsumen dewasa. Menurutnya, penting
untuk memahami mengapa merokok menimbulkan risiko kesehatan, yakni karena
adanya proses pembakaran. Nikotin sejatinya merupakan senyawa alami pada daun
tembakau dan tidak bersifat karsinogenik. “Dengan pemahaman ini, tujuan
kami adalah menawarkan alternatif yang lebih baik bagi perokok dewasa yang
ingin terus merokok,” pungkasnya.

Press Release ini juga sudah tayang di VRITIMES

Continue Reading

Ekonomi Bisnis

Jacek Olczak, CEO Philip Morris: Keberlanjutan Menciptakan Hasil yang Positif

Published

on

Chief Executive Officer Philip Morris International (PMI), Jacek Olczak, menyatakan aspek keberlanjutan memiliki peran penting untuk menciptakan hasil kinerja yang positif bagi perusahaan. PMI menerapkan sejumlah pendekatan untuk mengukur aspek keberlanjutan mulai dari bisnis, operasional, dampak ke karyawan dan para pemangku kepentingan terkait, hingga masyarakat luas.

JAKARTA – Chief Executive Officer Philip Morris
International (PMI), Jacek Olczak, menyatakan aspek keberlanjutan memiliki
peran penting untuk menciptakan hasil kinerja yang positif bagi perusahaan. PMI menerapkan sejumlah pendekatan untuk
mengukur aspek keberlanjutan mulai dari bisnis, operasional, dampak ke karyawan
dan para pemangku kepentingan terkait, hingga masyarakat luas.

Jacek menegaskan bahwa
arah PMI terkait keberlanjutan ialah memastikan bahwa perusahaan tidak hanya
sukses tahun ini dan tahun depan tetapi juga 10 hingga 20 tahun ke depan.
“Kami harus menganalisis semua metrik yang menciptakan peluang untuk
kesuksesan jangka panjang,” katanya pada sesi wawancara media di Jakarta,
Selasa 17 Maret 2025.

Pada aspek bisnis, PMI,
yang merupakan induk perusahaan PT HM Sampoerna Tbk. (Sampoerna), berupaya
untuk menciptakan dan menghadirkan pilihan yang lebih baik dibandingkan dengan rokok
bagi para perokok dewasa yang memutuskan untuk terus menggunakan produk
tembakau. Langkah itu dilakukan lewat kehadiran produk tembakau inovatif bebas
asap.

Pada aspek operasional
bisnis, PMI mendorong semua unit usahanya untuk memiliki dan menggunakan energi
bersih. Pada saat bersamaan, PMI juga berupaya meminimalisir polusi air lewat
efisiensi dan daur ulang dalam melakukan aktivitas usahanya. Dia mencontohkan,
Sampoerna memiliki rekam jejak manufaktur yang unggul. Sampoerna tidak hanya
mempertahankan tingkat produksi tetapi juga praktik operasional yang
berkelanjutan.

“Kami berinvestasi dalam teknologi hemat energi dan
memastikan bahwa energi yang kami gunakan berasal dari sumber yang lebih baik.
Hal yang sama berlaku untuk penggunaan air di mana kami meminimalkan polusi air
dan meningkatkan efisiensi air,” jelasnya.

Pria asal Polandia itu melanjutkan bahwa pada aspek
sumber daya manusia (SDM) atau karyawan, PMI berinvestasi untuk membantu
karyawan memahami teknologi termasuk kecerdasan buatan (artificial
intelligence
/AI). Dengan cara itu, PMI memastikan karyawan mengikuti tren
kemajuan teknologi sekaligus melihat peluang-peluang baru.

Secara khusus Jacek memuji Sampoerna yang saat ini telah
mengirimkan sekitar 70 talenta terampil dan menjabat posisi strategis di
perusahaan terafiliasi PMI di seluruh dunia. “Mereka adalah
individu-individu yang berkualifikasi tinggi, bukan pekerja tingkat
pemula,” paparnya.

Tidak berhenti pada karyawan, lanjut Jacek, Sampoerna
menjangkau lebih jauh untuk memberikan dampak sosial yang positif bagi masyarakat
luas, termasuk pengusaha UMKM, melalui Sampoerna Retail Community (SRC) yang
membina dan mendampingi lebih dari 250.000 toko kelontong di seluruh Indonesia.

Selain itu, ada juga Sampoerna Entrepreneurship Training
Center (SETC) yang dapat membantu pengusaha UMKM mengembangkan usahanya. SETC
telah mendampingi lebih dari 97.000 UMKM dari seluruh Indonesia. “Saya
percaya keberlanjutan berarti turut memastikan sumber daya manusia berkembang
dengan kecepatan yang sama dengan perubahan di sekitar kita. Pada akhirnya,
keberlanjutan harus masuk akal bagi bisnis. Jika tidak, keberlanjutan tidak
akan bertahan lama,” katanya.

Pada kesempatan yang sama, Presiden Direktur Sampoerna, Ivan
Cahyadi, menambahkan bahwa pilar kedua Falsafah Tiga Tangan yang dipegang teguh
oleh Sampoerna ialah memberikan manfaat bagi karyawan, mitra bisnis, dan
pemegang saham. Berpijak pada falsafah itu, Sampoerna tidak hanya membantu
karyawan berkembang tetapi juga seluruh rantai pasok perusahaan ikut tumbuh.

“Di Sampoerna, kami bermitra dengan 22.000 petani
tembakau dan cengkih, dan kami mengelola seluruh rantai pasokan, hingga apa
yang baru saja disebutkan oleh Jacek Olczak, yakni SRC, yang berada di garis
depan. Ini adalah inti dari bisnis kami. Sampoerna secara langsung atau tidak
langsung mempekerjakan lebih dari 90.000 orang,” jelasnya.

Ivan menjelaskan bahwa Sampoerna juga meraih sertifikat Top
Employer
di Indonesia selama tujuh tahun berturut-turut. Ia menyebutkan
bahwa Sampoerna memiliki program untuk merekrut karyawan dan membantu mereka
berintegrasi ke dalam budaya perusahaan. Selanjutnya, perusahaan fokus
mengidentifikasi keterampilan yang dibutuhkan untuk meraih kesuksesan, dengan
penekanan pada pengajaran keterampilan masa depan.

“Untuk memfasilitasi hal ini, kami mengirim karyawan
kami untuk bekerja di luar Indonesia guna berkontribusi pada perusahaan induk
kami, PMI. Saat ini, kami memiliki sekitar 70 orang yang bekerja di afiliasi
PMI, dan kami juga mendatangkan orang-orang dari seluruh dunia ke Sampoerna
untuk berbagi pengetahuan,” jelasnya.

Ivan melanjutkan bahwa Sampoerna juga membantu karyawan
yang hendak memasuki masa pensiun dengan pelatihan termasuk cara merintis
usaha. Berkat program itu, banyak karyawan Sampoerna khususnya para pelinting
atau ibu-ibu yang bekerja di pabrik sigaret kretek tangan (SKT) mampu membuka
usaha setelah pensiun. “Ini bukan hanya tentang bekerja dengan kami. Saat karyawan
kami akan pensiun, kami membimbing Anda untuk terus maju dan berkembang, baik
sebagai karyawan maupun pengusaha UMKM. Komitmen kami mencakup dari petani
hingga masyarakat. Inilah cara Sampoerna berkontribusi bagi Indonesia,”
imbuhnya.

Press Release ini juga sudah tayang di VRITIMES

Continue Reading

Populer Sepekan